Kementan baru saja merilis data bahwa di tahun 2019 lalu negara kita tercatat sebagai produsen biji kopi terbesar keempat di dunia. Posisi ini hanya tertinggal dari Brasil, Vietnam dan Kolombia yang menempati peringkat 1, 2 dan 3. Tentu kita bersyukur, Indonesia memiliki angka produksi rata-rata sekitar 700 ribu ton per tahun atau sekitar 8% dari produksi kopi dunia.
Kementan juga mendata bahwa volume konsumsi kopi nasional kita pada 2016 mencapai sekitar 250 ribu ton dan tumbuh 10,54% menjadi 276 ribu ton. Sedangkan konsumsi kopi nasional sepanjang periode 2016-2021 diprediksi tumbuh rata-rata 8,22% pertahun. Pada 2021, pasokan kopi diprediksi akan mencapai 795 ribu ton dengan volume konsumsi 370 ribu ton. Artinya, terjadi surplus 425 ribu ton. Surplus ini merupakan dukungan potensi bahan baku yang membuat kita memiliki peluang strategis dalam pengembangan industri pengolahan kopi, khususnya untuk mendukung sektor ekspor kita.
Soal peluang, produk kopi memang tak diragukan. Dengan demand kopi yang besar secara global dan dinamika gaya hidup masyarakat dunia yang semakin ‘gandrung ngopi’, industri pengolahan kopi tentu akan semakin berpeluang untuk berkembang. Tengoklah sekarang, di dalam negeri pun, kita bisa melihat banyaknya roastery, cafe atau kedai penyedia aneka kopi begitu menjamur dan berkembang di mana-mana. Dari di kota besar hingga di pedesaan. Dari lingkungan bisnis, public places seperti bandara, stasiun, terminal dan sebagainya, hingga kantin di perkantoran dan kampus. Dari cafe bergengsi, warkop sederhana hingga tukang kopi keliling.
Pertanyaannya kemudian adalah, perlukah produk kopi bersertifikat halal? Dalam konteks pengembangan industri kopi, sertifikasi halal tentu menjadi standar produk yang sangat penting sebagaimana pada produk makanan dan minuman lainnya. Dengan sertifikasi halal, maka pelaku usaha selain melaksanakan keterpanggilan tanggung jawabnya untuk mewujudkan niat mulia memberikan jaminan kehalalan produknya bagi konsumen terlebih bagi masyarakat konsumen yang mayoritas muslim seperti di Indonesia. Dengan bersertifikat halal, pelaku usaha juga mendapatkan manfaat bahwa standar halal produk menjadi nilai pengangkat kualitas produknya. Atau dengan kata lain, halal menjadi added-value yang dengan itu menjadikan produk lebih kompetitif di pasar global yang memang sangat kompetitif dan menuntut persaingan standar.
Realita ideal ini tentu selaras dengan semangat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang menegaskan bahwa penyelenggaraan JPH selain bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk, juga untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal yang dihasilkannya.
Dengan potensi ketersediaan bahan yang melimpah, demand pasar dunia yang begitu besar dan ditambah regulasi yang memberikan dukungan pengembangan industri kopi ini tentu teramat sayang jika peluang besar ini diabaikan. Implikasi positif dari adanya standard halal sebagai upaya penguatan nilai ekonomi produk ini tentu saja bisa diwujudkan ketika pelaku usaha yang menjadi agent industri kopi menyadari urgensi standard halal ini sebagai salah satu nilai lebih yang harus dimiliki oleh produk mereka. Ini sekaligus menjadi respons positif industri terhadap meningkatnya kesadaran halal masyarakat dunia yang ditandai dengan bertambahnya permintaan konsumsi produk halal yang mendorong perdagangan produk halal yang nilainya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Dengan dinamika perkembangan yang bagus, kita berharap semoga industri kopi Indonesia terus berkembang, semakin mampu bersaing hingga unggul di pasar global, dan menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor kita yang memperkuat kekuatan ekonomi Indonesia.
Selamat Hari Kopi Nasional 11 Maret 2020.
